Menjadi Voice of The Voiceless Melalui Tulisan

Menjelang senja,

di ruang penuh buku,

cemas menyelusup cepat,

melesap masuk ke dalam batinku,

Di laci kecil bernama luka masa lalu,

ia bersemayam bersama kenangan tentang Re:.

Enam larik itu menjadi salah satu untaian ekspresi perasaan Kang Maman Suherman dalam buku berjudul Re: dan peRempuan, sebuah buku yang saya dapatkan sebagai salah satu pemenang giveaway yang disponsori pengirimannya oleh JNE bulan Juli lalu.


jne

Re: yang diceritakan dalam novel berdasarkan kisah nyata itu adalah seorang perempuan PSK yang meninggal, dibunuh secara sadis saat dia ingin meninggalkan dunia gelap pelacuran. Kang Maman yang terlibat secara emosional dalam kisah Re: berhasil membawa saya larut dan ikut menitikkan air mata pada beberapa bagian buku itu.

 

Menjadi Suara Bagi yang Tak Mampu Bersuara

 

Voice of the voiceless, menjadi “suara” bagi yang tak mampu bersuara adalah peran yang diambil Kang Maman dalam menuliskan kisah Re: sebab Re: takkan pernah berbicara mengenai kejadian yang dialaminya. Di samping itu, menulis tentang Re: juga menjadi proses healing baginya.

Kalau kalian sudah membaca bukunya pasti paham mengapa lelaki yang sudah menghasilkan 30 buku ini perlu proses healing melalui tulisan tentang Re:. Saya pun baru paham, setelah entah berapa kali sudah saya mendengarnya bertutur tentang Re: dalam beberapa kesempatan.


GA Maman Suherman

“Jadilah voice of the voiceless,”
adalah salah satu pesan Kang Maman dalam live Instagram bertajuk Asyiknya Nulis Yang Asyik ke 2 yang berlangsung tanggal 8 Oktober di akun @jnewsonline. Sembari menyimak talkshow, memori saya berkelana dalam buku tentang Re:.

Ya, buku itu telah menjadi voice of the voiceless. Minimal para pembaca tahu dan menyadari bahwa kasus pembunuhan Re: dan kejadian-kejadian “mengerikan” di dalam buku itu nyata adanya sehingga bisa menjaga dirinya dan keturunannya untuk tak masuk dalam pusaran-pusaran itu.

“Saya ingin ada yang mewakili suara orang-orang yang suaranya tidak didengar. Selebihnya terserah pembaca memaknainya,” ujar Kang Maman ketika saya bertanya padanya mengenai Re: dan peRempuan via japri.

 

Tentang Tanggung Jawab Moral

 

Lalu saya teringat mengenai “tanggung jawab moral” – satu pesan lain dari Kang Maman dalam talkshow di akun Instagram resmi JNE itu. Satu lagi yang ingin saya tanyakan padanya, mengenai kelanjutan buku Re: yang sedang dibuatnya.

“Oiya satu lagi … membuat kelanjutan kisah yang seperti kisah Re: .... apakah itu bentuk tanggung jawab Kang Maman sebagai alumni Kriminologi? Atau ada alasan lain?” tanya saya, masih melalui pesan pribadi.

Ya, sekaligus tanggung jawab sebagai manusia yang mendapat lebih banyak ‘keberuntungan’ dan ‘kesempatan’ dibanding mereka,” Kang Maman masih bersedia menjawab pertanyaan saya.

 

Berbagi kebaikan

Apa yang Saya Lakukan Melalui Tulisan?

 

Seperti biasa, usai “mengisi gelas” pengetahuan di benak, saya merenung dan bertanya pada diri sendiri: apa “voice of the voiceless” dan tanggung jawab moral yang sudah saya lakukan?

Ah ya, memoar berpulangnya kedua orang tua saya masih hangat dalam hati dan pikiran saya. Sesekali – usai salat fardhu dan mendoakan kedua orang tua, air mata masih menitik, mengungkapkan perasaan rindu kepada keduanya. Bagaimana tak merindu, baru satu bulan keduanya berpulang. Dan sepanjang 47 tahun usia, hanya sekira 3 tahun saya tak di dekat mereka.

Kepergian mereka dengan perantara covid. Belum lama Mama meninggal – selang 2 hari Papa berpulang, saya langsung membuat status panjang di Facebook mengenai kenyataannya. Saya dan adik-adik tak menyembunyikan dari siapapun mengenai covid-19 yang diidap keduanya.

Tak lama kemudian 6 tulisan sudah terpajang di blog. Hingga saat ini semuanya sudah dibaca sebanyak 991 kali berdasarkan perhitungan Google Analytics. Ditambah pembaca status di Facebook, sudah lebih dari 1000 kali semua tulisan saya dibaca.

Sewaktu mengatakan ingin membuat tulisan berjudul Menjawab Tanya Seputar Kepergian Mereka dan mengistilahkannya dengan “hak jawab”, suami saya berpesan, “Tulislah tapi jangan dengan emosi.”

Awalnya memang saya merasa tersinggung dan sedih dengan ucapan beberapa orang yang mengatakan kedua orang tua kami bukan meninggal karena covid melainkan penyakit selain itu. Tersinggung karena secara tidak langsung dianggap anak kurang ajar, mau saja menguburkan orang tuanya secara protokol covid. 

Sedih karena dalam kondisi wabah seperti ini, mau tak mau takdir diterima dengan lapang dada dan sebaik mungkin menjalankan ketentuan Allah serta aturan pemerintah. Sedang berduka sekali pun jangan sampai berbuat kesalahan apalagi dosa.

Di antara mereka, ada yang sampai mencoba meyakinkan saya dan menyuruh saya memakamkan orang tua dengan tatacara pemakaman umum serta melarang saya menyebut covid-19 terang-terangan.

Saya terperangah. Di saat hati saya dan adik-adik ringan melepas kedua orang tua dan kami merasa bahagia sudah melakukan hal yang tepat,

yaitu tetap mencari cara pemakaman secara covid, melarang sanak saudara dan tetangga untuk bertandang untuk mencegah penularan penyakit, kami terlibat dalam penyelenggaraan jenazah – adik-adik, suami, ipar, dan anak saya sampai memakai hazmat ketika memandikan orang tua, dan menyaksikan sendiri penguburan keduanya,

mengapa orang-orang di luar sana justru yang berpotensi membuat kami berdosa dan menzalimi orang lain?

Kan kalau kami mengikuti saran mereka, lalu ada pelayat yang pulangnya sakit – bukannya itu perbuatan zalim?

“Saya tidak pernah menyembunyikan kalau Mama kena covid, Kak. Dimakamkan secara covid, saya dan adik-adik ikhlas, ridho. Tidak masalah! Kami tak berkeberatan daripada menyembunyikan lalu ada pelayat yang sakit. Kami tidak mau. Kami takut dosa. Kasihan orang tua sudah dikubur lalu anak-anaknya berbuat dosa!”

Beberapa orang yang saya sampaikan demikian terdiam. Saya yakin mereka tahu yang saya katakan itu benar dan melakukan hal yang benar.

Namun tak bisa kepada semua yang berkata-kata tak semestinya bisa saya beri pesan seperti itu. Saya memungkinkan kebenaran ini sampai kepada lebih banyak orang lagi hanyalah melalui tulisan maka terbitlah ke-6 tulisan tersebut di blog www.mugniar.com yang saya bagikan juga di grup keluarga.

Beberapa orang mengirimi pesan setelah membaca tulisan-tulisan saya. Ada yang mengucapkan apresiasi atas sikap kami. Ada yang merasa sedih setelah membaca tulisan-tulisan saya.

Berbagi kebaikan
Salah satu quote Kang Maman di talkshow Asyiknya Nulis Yang Asyik ke 2.

Sesaat saya terpana. Mengapa bersedih ya sebab saya membagikan tulisan bukan untuk mengumbar kesedihan atau mengajak orang lain untuk bersedih. Saya berharap ada hikmah yang bisa kita pelajari bersama dari kisah berpulangnya kedua orang tua. 

Saya berharap, orang tua kami di alam barzakh berbahagia karena ketiga anaknya terhindar dari dosa zalim dalam proses penyelenggaraan jenazah keduanya. Semoga kebahagiaan mereka abadi, seabadi tulisan-tulisan saya di blog.

Tentang pendapat orang-orang usai membaca tulisan, biarlah ya, sebagaimana yang dikatakan Kang Maman: “Terserah pembaca memaknainya.” Toh kita tak bisa memaksa semua orang memaknainya seperti yang kita inginkan.

32 komentar

  1. Inspiratif sekali. Baik tulisan kang maman maupun tulisanmu ini. Moga pesan kalian bisa diterima baik oleh banyak orang, ya

    BalasHapus
  2. Wuaa salut, Kang Maman adalah salah satu penulis idola saya. Sekarang cuma follow beliau di twitter aja sih. Tapi ide-idenya hebat ya, kayak voice of voicess ini. Tulisan memang bisa menjadi "suara" yang bisa disebarluaskan

    BalasHapus
  3. Aku ikutan IG live-nya ini mbaaa
    sangat menarik bangett insight yg disampaikan Kang Maman
    bener2 bisa memantik ide dan inspirasi buat kita semua ya

    BalasHapus
  4. Saya ngikuti kang Maman sebagai penulis terbaik cara merangkai kata menjadi satu kesatuan kalimat bagus banget menurut saya . Jadinya suka saya jadikan inspirasi hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pengen bisa begitu tapi susah ya ... eh di acara ini diingatkan untuk jadi diri sendiri saja hehe.

      Hapus
  5. Sebelumnya saya turut berdua atas meninggalnya kedua orang tua Mbak Muniar.

    Membaca tulisan Mbak mugniar, saya kok jadi penasaran ya sama kang maman bagaimana cara beliau merangkai aksara demi aksaranya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Boleh di-follow beliau di akun-akun medsos-nya, Mbak Julia.

      Hapus
  6. Saya ikut berduka ya Mba, betapa sulitnya pasti kehilangan orang tua. Bagus sekali ya topiknya tentang Voice of The Voiceless ini. Menjadi suara bagi yang tak mampu bersura. Memang benar sih kadang, apa yang ingin Kita sampaikan belum tentu sama dengan penerimanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Voice of the voiceless ini hanya sedikit dari yang disampaikan Kang Maman, Mbak Lia. Untuk lebih lengkapnya bisa disimak di IG resmi JNE.

      Hapus
  7. Voice of the voiceless, saya butuh waktu beberapa kali baca supaya paham maksudnya. Aamiin, turut berduka cita ya, Mbak. Insha Allah kedua orang tua husnul khotimah, dapat tempat terbaik di sisi Allah swt. Kadang kita menulis itu nggak bermaksud membuat pembaca sedih, tapi karena menulisnya dari hati yang terdalam jadi pesan sedihnya ikut dirasakan sama yang baca. It's okay, Mbak, semangat terus ya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mbak Ima, mungkin karena memang menulis dengan perasaan yang mendalam ya, ke orang lain yang membacanya jadi terpantik emosinya meski kita tidak bermaksud membuat sedih.

      Hapus
  8. Semangat ya mbak Niar
    Jangan ragu untuk terus menulis dan berbagi banyak kisah inspiratif lewat tulisan

    BalasHapus
  9. Nyeess baca tulisan kak Niar.
    Aku salut banget sama kak Niar yang segera bisa menuliskannya tanpa emosi. Aku kehilangan Bapak rahimahullah gak kuat ngapa-ngapain rasanya.
    Lemeeess....kaya anak yang kehilangan segala-galanya.

    Allahu akbar.
    Allah maha besar.

    Semoga dipertemukan dan dikumpulkan kembali di syurgaNya kelak.
    Aamiin~

    Doa terbaik untuk kak Niar dan keluarga.
    Semoga senantiasa diberi ketabahan dan kekuatan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, saat menulis bisa menguasai perasaan, Mbak Lendy. Saya menangis sesekali kalau kangen sama keduanya. Nangis diam2, gak ada yang lihat tapi sampai terisak2 juga. Alhamdulillah lega sih, merasa ikhlas, ridho dengan jalan yang sudah Allah takdirkan.

      Hapus
  10. Paragraf terakhir jleb banget buatku. Setuju banget mbak, karena kita nggak bisa memaksa semua komentar sesuai keinginan kita ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak.
      Pengennya orang mengerti tapi kalau ada yang tak mengerti ya .. apa boleh buat :D

      Hapus
  11. Inspiratis ya tulisan kang maman. Banyak hikmah yg biasa diambil. Ketika misal kita berada dalam lingkaran yg toxic namun kita berani nekat keluar dari lingkaran itu. Mungkin banyak risiko yg harus kita terima.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, dan bisa jadi menuliskannya ... setelah sekian tahun bisa jadi jalan untuk healing karena toxin-nya masih ada.

      Hapus
  12. Salut sama mbak mugniar yang bisa tetap berpegang teguh menghindari risiko penularan saat ayah dan ibunya meninggal. InsyaAllah sekarang kedua orang tua sudah tenang ya di sisi Allah swt

    BalasHapus
  13. Duh ada Kang Maman, salah satu penulis favoritku ini. Kali ini apa yang dipaparkan Kang Maman bener banget, untuk apa menyembunyikan fakta tentang COVID-19 yang dialami apalagi jika menyangkut kesehatan dan keselamatan orang lain. Salut untuk Mak Mugniar, turut berduka ya mak dan semoga selalu diberikan kesabaran.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kang Maman bertutur mengenai Re:, Mbak ... saya menghubungkannya dengan "voice of the voiceless" ala saya. Makasih ya Mbak. Aamiin.

      Hapus
  14. Salut, Mbak, dengan prinsipnya, dan menggunakan tulisan sebagai jawaban. semoga ayah bunda bahagia di sana, dan bangga dengan Mbak Mugniar yang terus menuliskan kebaikan.

    BalasHapus
  15. Hwaa ada kang Maman, penulis favoritkuu.
    Peluk kak Niar <3 terharu baca tulisannya, masyaAllah. Turut berduka kak. Semoga kak niar selalu dalam penjagaan Allah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin, makasih Mbak Jihan, semoga kita semua dijaga oleh Allah ya.
      Penuturan lengkap Kang Maman bisa ditonton kembali di IG resmi JNE, Mbak Jihan.

      Hapus
  16. Mak, saya kehilangan ibu 17 Oktober 13 tahun lalu. Saat itu, butuh waktu untuk benar-benar menerima kenyataan bahwa orang yang kita sayangi telah pergi. Jadi kalau Mak Niar masih sering teringat lalu menangis, tidak apa-apa, Mak.. Sangat manusiawi.

    Teriring doa untuk beliau berdua, allahummaghfirlahum warhamhum wa'aafihi wa'fu'anhum...

    BalasHapus
  17. Duka pasti masih terasa ya, Kak. Aku tertohok banget membaca bahwa di saat berduka pun keluarga Kakak nggak ingin mendzolimi para pelayat yang hadir. Masih memikirkan keselamatan orang banyak di saat yang nggak mudah.

    BalasHapus